Sabtu, 26 November 2011
Sedikit Tempat Untuk Kekayaan
Sabtu, 22 Oktober 2011
Anda Sudah Mendaki Sangat Tinggi, Sisanya Bukan Hak Saya
Sekarang anda memilih sejenak untuk sedikit berhenti, beristirahat, sedikit menikmati hasil yang selama ini anda pertanyakan.
Menghela napas panjang dan bersandar, dengan pandangan tak lepas pada hamparan ruang yang anda sadar dasarnya telah anda tinggalkan cukup lama. Seolah anda berada diujung bumi, seperti melayang, dengan ratusan tebing seperti menara yang menjulang tinggi, sebagian telah terlihat puncaknya dan sebagian lain masih tertutup kabut.
warna orange yang merona bercahaya melapisi langit. Langit yang melatari ratusan tebing yang menjulang. Awan yang berserakan lelah, melelehkan warna jingga dari sinar matahari sore yang memancarkan cahaya. Cahaya yang memaksa masuk pada tiap celah kabut tipis yang sekarang sedikit menghangatkan wajah anda.
Anda sedikit mengangkat dagu anda, memejamkan mata untuk menikmati hangatnya siraman cahaya matahari sore ini, alunan suara alam yang lumrah dan damai, melupakan anda dari kebisingan dengkuran manusia-manusia yang tertidur di bawah sana, dan hasilnya sangat sulit untuk menahan syaraf-syaraf di pipi anda, untuk membuat garis senyum simpul manis, berharap ini cukup sebagai akhir.
Sayangnya semua itu seolah menegasikan keadaan dalam otak anda, yang dari tadi sudah sangat siap untuk meyeruak menimbulkan ledakan kebingungan-kebingungan yang telah terlalu lama mengkristal, menghujani tempat didalam dada anda, yang anda sendiri tidak bisa menunjukannya di sebelah mana, yang pasti didalam dada anda kosong…
Anda berusaha memejamkan mata sekuatnya, seolah dengan begitu semuanya bisa terselesaikan. Tapi memori anda menyimpan pengalaman dan seolah mengatakan bahwa tak ada gunanya memejamkan mata!! dan dalam sepersekian detik, mata anda kembali membuka melihat lengangnya pemandangan tadi yang tidak berubah, damai, seperti biasa…
Anda melihat perbekalan anda, semua sudah habis! sedangkan anda merasa bahwa ini bukan puncaknya, puncak yang anda harapkan, yaitu, sebut saja “anti-relative”.
Tidak lama anda mendengar suara yang memanggil anda dari kejauhan. Entah dari tebing yang mana. Yang jelas anda tau pasti itu suara yang anda kenal, Anda menengok ke segala arah, berusaha mencari, dan ketika anda berbalik ke arah barat daya, anda melihat sesosok orang yang samar-samar anda kenal, tertutup kabut tipis memanggil nama anda. Dengan gerak geriknya dia seperi mengajak anda untuk datang kesana.
Ketika anda mencoba perhatikan dengan seksama suaranya, mengerutkan dahi anda dan berusaha melihat. Oh! Anda tau itu suara siapa!
Ya! Itu suara saya, suara yang memanggil anda dari tebing dimana saya berdiri dan melihat keaarah anda. Ini saya yang menawarkan sedikit perbelakan untuk kita bisa bagi bersama dan melanjutkan perjalanan. Ini saya yang dalam kedaan sama seperti anda, mencoba kembali mendaki untuk mencapai puncak paling tertinggi dari ratusan tebing yang menjulang. Yang berjudi untuk memilih mana yang tertinggi.
Anda pun kebingungan, dengan cara apa anda harus menuju kesana, karena jaraknya sangat tidak pasti untuk dilompati. Anda hanya terdiam keheranan melihat saya.
Lalu anda ingat akan suatu hal, tak lama anda berteriak membalas teriakana saya. Teriakan yang saya dengar untuk membangun sebuah jembatan. Ah.. Ternyata anda masih ingat kemampuan yang paling bisa saya lakukan, membangun jembatan.
Tapi sayangnya saya paling tahu, bahwa kemampuan saya bukan itu. Kemampuan saya adalah membangun jembatan rapuh.
Ya! Jembatan rapuh yang selama ini saya bangun, jembatan yang menghubungkan dari satu tebing ke tebing lain. Tapi ada hal yang mungkin seharusnya anda tahu, bahwa jembatan-jembatan yang saya bangun sebelumnya hanya untuk jarak yang anda yakin anda bisa melompatinya.
Sebenarnya tidak sulit bagi saya untuk membangun jembatan yang anda maksudkan itu sekarang. Karena sah-sah saja melihat dari hasil yang lumrah dan sedikit memberikan kemudahan untuk anda.
Tapi saya enggan kali ini. Anda tau kenapa?
Karena harga lompatan yang anda lakukan kali ini, seharga ketidak pastian jarak yang anda lihat sekarang…
***
Burung-burung sudah terbang menuju sarang, kelelawar sudah mulai terbangun, berterbangan diantara ratusan tebing, yang dimana salah satunya anda sedang berdiri sekarang, memandang tempat saya berdiri, dan terkadang melihat sekeliling.
Anda melihat kearah saya sekarang, dan saya tau ada kebingungan dalam diri anda. Kebingungan pada saya yang enggan kali ini untuk memberikan anda kemudahan seperti biasanya. Bukan! bukan itu kebingungannya. Kebingunan karena ada ketakutan berupa keraguan dalam diri anda, ketakutan karena jarak yang tidak normal, tidak masuk akal, tidak pernah anda alami sebelumnya. Ini seperti terlalu dipaksakan, bahkan ya! Terlalu dipaksakan!
Kebingungan anda semakin bertambah ketika ada suara lain dari tempat dimana anda berada, dan ketika anda menoleh sedikit ke kanan, ternyata ada orang lain!
Sekarang suara yang memanggil anda semakin banyak, dari bawah, dari atas, bahkan dari segala arah yang semuanya menawarkan perbekalan. Lalu anda kembali menoleh pada saya dengan mimik kebingungan lain.
Saya pun kebingungan, bingung dengan kebingungan anda, dengan kebingungan saya, dengan kebingungan semua orang. Semua orang kebingungan, karena itulah yang menyebabkan kebanyakan dari mereka lebih memilih tidur didasar sana.
Makanya saya hanya bisa berteriak sekarang, karena saya yakin akan satu hal yang pasti. Saya disini akan tetap berdiri menunggu anda. Menunggu anda untuk melompat. Entah itu kapan, karena saya tidak bisa melihat masa depan, maka saya akan selalu berusaha dengan sekuat tenaga, berjuang dengan apa yang ada sekarang, berusaha memahami tiap langkah yang saya tinggalkan, tiap makna yang saya lihat, saya dengar, saya cium, saya sentuh, dan saya jilat.
Anda menghela napas panjang, menoleh ke atas memandang langit. Langit sore yang tenang, kali ini semakin dekat mengantarkan pada senja, karena warna biru di atas sana sudah menyusup dari tiap latar langit sore.
Pemandangan tenang yang anda lihat kali ini tidak berkesan sama sekali. Mungkin karena anda sudah mulai bisa beradaptasi dan terbiasa. Tapi otak tidak pernah terbiasa, selalu bekerja, berusaha keras mencoba memahami keadaan yang terlalu kacau, rumit, dan tidak pasti. Entah mengapa menjadi begitu kacau dan rumit. Ah ya! Anda sama seperti saya, sama seperti sebagian orang-orang yang memilih untuk mendaki, ingin mencapai puncak tertinggi! Dimana alasannya bukan suatu hal yang umum, ataupun alami. Nyatanya sekarang ada ratusan tebing yang menjulang, yang masing-masing menjanjikan sebagai yang tertinggi. Semua rumit karena tidak pasti, menjadi kacau karena anda harus berjudi, dan semakin menakutkan karena mungkin anda mati senja ini.
Karena lompatan kali ini hanya butuh keberanian, dan sesuatu yang semua orang memilikinya. Menggunakannya, kebanyakan sulit. Karena kita terlanjur lahir, terlanjur mengenal semesta yang relative, terlanjur dibalut ego, dan apapun yang masa lalu bisa katakan.
Tapi dengan selalu meyakini diri anda. Dengan semua hasrat untuk mencapai yang tertinggi. Dengan segala ketakutan yang mendorong anda. Dengan selalu melawan apapun untuk berbuat tidak biasa, dan akhirnya menjadikan waktu ini adalah tempat dimana anda tidak punya masa lalu ataupun masa depan, hanya meyakini saat ini adalah keterbatasan yang tidak bisa anda nafikan, dan ada kepasrahan seutuhnya yang menjadikannya sebagai suatu keharusan berbuat berani! Jelas! Karena saya yakin, sekalipun anda mati karena lompatan bodoh ini, hasilnya bukan hal lumrah dari mekanisme semesta seperti yang terjadi pada kebanyakan orang.
Tidak ada alasan untuk ke tebing tempat dimana saya berada, semuanya ada pada diri anda. Karena toh kalaupun anda menolak untuk melompat kesini, hal itu tidak akan menghalangi niat saya untuk terus melanjutkan perjalanan, sekalipun harus terpincang-terpincang karenanya. Tapi itu juga tidak akan membuat saya berhenti untuk sesekali jika kita bisa bertemu di ketinggian-ketinggian berikutnya, untuk mengajak anda kesini. Karena anda ragu, saya yakin, hanya itu!
Dengan penghargaan tertinggi, dengan penuh rasa hormat, dengan upaya yang sangat saya usahakan maksimal, saya serahkan semuanya pada anda untuk memutuskan. Karena bagian saya sampai sini, sisanya bukan hak saya.
Selasa, 01 Februari 2011
Sang Kecoa
Ada hal yang cukup mendesak memori dikepala saya untuk memberikan sedikit tempat akan pengalaman biasa. Hal ini pula yang membuat saya ingin menuliskannya, karena runtutan panjang kejenuhan dalam momen sebulan yang biasanya robot –robot semacam saya menyebutnya sebagai liburan, semakin mengkukuhkan apa yang saya sebut kehidupan adalah statis.
Pernahkah anda membunuh seekor kecoa? Saya pernah, kemarin malam, tepatnya tiga jam lebih sebelum malam mengantarkan saya pada pergantian hari. Sedikit tidak biasa memang kedatangan sang kecoa kali ini. Bukan dengan berlarian malu-malu , tapi kali ini sang kecoa melawan gravitasi dengan sangat percaya diri, lebih tepatnya terburu-buru. Pada saat itu pintu rumah saya memang sedang terbuka setengah, sedikit mengundang sang kecoa rupanya untuk terbang masuk dan menganggu ketenangan saya yang sedang bermalas-malasan di depan layar computer.
Sang kecoa terbang seperti orang kebingungan mencari toilet, hinggap sebentar lalu terbang lagi. Menurut pengalaman saya dengan kecoa-kecoa dimasa lalu, gelagat seperti ini adalah gelagat kecoa yang sedang mau bertelur. Tentunya sedikit pengetahuan saya ini membuat saya semakin merasa terganggu mengingat visi sang kecoa adalah melanjutkan dinastinya di tempat dimana saya seharusnya merasa aman dan nyaman. Motif yang cukup untuk membuat saya yang pemalas beranjak dari tempat duduk dan mengambil sebatang bamboo yang saya bawa dari masa lalu dan masih tersimpan baik sampai saya sebesar ini.
Dengan sedikit kewaspadaan seperti akan sedang berburu, saya mengamati gerak gerik sang kecoa kala ia sedang lengah. Tapi kawan, sang kecoa memang selalu lengah nampaknya. Entah karena dia sudah tidak mengacuhkan keberadaan saya karena desakan dalam perutnya. Ya! Isi perutnya yang meminta untuk segera keluar dan melihat dunia yang kacau.
Akhirnya sang kecoa hinggap di lantai sudut dekat tembok, tempat yang terjangkau dan sangat nyaman tentunya untuk saya mengeksekusi segera. Tanpa pikir panjang saya langsung memukul sang kecoa hingga terlentang. Saya tindih kepalanya dengan ujung bamboo. malang sang kecoa, dia nampak sangat tersiksa karena sang kecoa meronta-ronta dengan sangat liar, kakinya yang lebih dari dua itu bergerak kesana kemari, membuat tubuhnya ikut bergerak dan semakin bergeser, keadaan seperti ini membuat saya mengangkat bamboo dan saya tindih lagi untuk memastikan bahwa saya benar-benar menindih kepalanya. Sang kecoa meronta2 lagi seperti tadi, entah hanya perasaan saya saja tapi kali ini sang kecoa meronta semakin tidak terkendali, membuat saya jadi semakin iba melihat seekor binatang yang akan menjempu maut. Saya pun akhirnya berhenti menindihnya karena saya lihat sudah terlalu jahat jika saya melanjutkannya. Saya pun mengangkat bamboo yang kali ini menjadi alat eksekusi seekor kecoa. Dengan perlahan saya angkat, sambil melihat reaksi sang kecoa yang memang sudah sangat tidak berdaya meronta2 seolah mengutuk langit akan kesialannya.
Saya hanya memperhatikan sang kecoa, rontaan nya semakin menjadi, semakin liar, tapi seperti sedang berpikir! Tak lama sang kecoa berbalik dari posisinya yang terlentang menjadi posisinya berdiri normal, sedikit berjalan seperti mencari sesuatu, sempoyongan tapi tidak berusaha berhenti berjalan. Sayapnya yang hancur nampaknya berusaha ia kepakkan. Reflek saya langsung menindih lagi sang kepala kecoa.
Sedikit saya terkejut dengan kejadian tadi. Bukan kejadian yang luar biasa tapi membuat saya terus memperhatikan sang kecoa sambil tetap menindihnnya tentunya. Pemandangan itu membuat impuls di otak saya bekerja sangat cepat menyusun huruf-huruf dan membentuk sebuah kata, PERLAWANAN! Ya! Rontaanya tadi ternyata bukan sebuah penderitaan karena kesakitan. Memang kesakitan, tapi itu hanyalah bumbu dari sebuah perlawanan. Perlawanan pada saya sang eksekutor, yang besarnya ratusan kali lipat dari sang kecoa. “Sangat tidak masuk akal untuk melawanku wahai kecoa bodoh” ujar saya dalam hati, tapi tanpa kesombongan kali ini saya berujar. Entahlah, ada rasa hormat pada sang kecoa bodoh itu. Pada sebuah eksistensi menjijikan yang membawa semangat langit. Semangat focus dan tidak menyerah dengan sebentuk rontaan liar hanya untuk bertelur, hanya karena kecoa bodoh, tidak bisa berfikir untuk paham bahwa yang dilakukannya tidak masuk akal, seperti manusia yang selalu punya perhitungan.
Kejadian itu membuat saya belajar, sekalipun semuanya tidak masuk akal, apakah kita harus berhenti? Menunda? Ataupun apalah itu namanya agar kata menyerah terlihat menjadi begitu ramah. Sekalipun kita dipastikan akan mati. Hanya saja ketika kita yakin dengan apa yang kita jalani, apakah kata “sia-sia” menjadi begitu sangat bermakna?
Saya jadi teringat kata-kata teman saya yang sangat membekas dalam sebuah obrolan di warung kopi. Katanya “mimpi itu berawal dari sesuatu yang Irasional”.
***
Yah singkat cerita sang kecoa dalam keadaan sekarat tak berdaya dan membuat iba. Akhirnya Saya bawa ke luar pintu dengan menggesernya menggunakan bamboo. Ternyata diluar sudah menunggu koloni pekerja keras, arsitek yang sudah hidup jutaan tahun yang lalu, yang sedari tadi berkeliaran merayap-rayap di tempat eksekusi dan siap memamerkan drama paling tua persembahan dari alam.Tentu saja dengan judul yang sangat familiar.“Hukum Rimba”.