Sabtu, 26 November 2011

Sedikit Tempat Untuk Kekayaan

Sudah lama sejak rutinitas hanyalah pengalihan kebimbangan dari hal yang saya anggap ideal . warung kopi, sendiri. Tidak biasa memang akhir-akhir ini meminjam waktu di warung kopi sendirian. Selalu ada kawan atau kawan-kawan yang mengisi ruang sempit dengan obrolan-obrolan yang terkadang sepele sampai hal-hal yang tidak patut untuk diabaikan. Dalam persepsi saya, sadar tidak sadar, kawan untuk berbincang adalah seperti keharusan yang ada jika saya ingin menghabiskan jeda waktu di sebuah warung kopi, atau apapun tempat yang membuat saya bisa duduk, menghisap rokok, ditemani kopi atau minuman khas lainnya yang tersedia.
Bukan tanpa alasan kali itu saya sendiri. Kondisinya memang tidak memungkinkan dan menginginkan untuk menghubungi beberapa teman. Pukul 00.00 pas saya tiba di warung kopi. Warung kopi yang cukup dekat dengan rumah saya, dan saya putuskan untuk singgahi beberapa jam melepas kepenatan sepulang dari kesibukan yang bertambah, kesibukan tidak produktif lainnya? saya harap tidak lagi.
Bangku di ujung dekat pintu masuk yang kedua, sudah terisi, oleh saya. Sekitar 50cm di sebelah kanan saya diisi oleh bapak-bapak yang yang saya perkirakan berumur 55 thn, yang sedang berbicang dengan temannya di sebelahnya. Diujung bangku sana terlihat seorang pria dan seorang wanita yang saya anggap sepasang kekasih (entah benar atau salah), dan nampaknya sudah selesai urusan mereka dengan warung kopi tersebut, mereka segera beranjak. Jadi sisanya hanya ada tiga pelanggan disitu, saya dan dua orang bapak-bapak. Yang satu nampak seperti pegawai yang baru pulang kerja, dan satunya seperti seorang pensiunan. Keduanya, saling berbincang.
Aneh. Tidak biasa lebih tepatnya, tapi sedikit familiar. Suara-suara perbicangan orang yang saya tidak kenal mengesek-gesek ruangan, terkadang jelas terkadang samar. Bukan sesuatu yang istimewa memang, hanya keadaan lumrah yang sudah lama tidak saya alami.
Satu jam dan tidak ada yang menarik selain menikmati waktu yang senggang ini ditemani rokok dan kopi. Objek visual hanyalah jam dinding, orang lain, jalan diluar, dan sekeliling ruangan di dalam warung. Visual yang terus sama, terkadang samar digeser lamunan, terkadang jelas, terkadang samar digeser lamunan, terkadang jelas. Tempo yang hening dari suasana pinggiran kota yang lelah. Terkadang diisi suara kendaraan yang lewat dengan jeda waktu yang lumayan lama. Intonasi suara perbincangan di dalam ruangan yang naik turun, terkadang berhenti menghormati keheningan. Begitulah siklus empiris ditawarkan warung kopi kala itu.
Perbincangan yang terjadi hanya dilakukan dua pelanggan lainnya selain saya, perbicangan dari kedua orang yang sudah berumur senja, semakin mendominasi bunyi dalam ruangan. Seolah memaksa saya untuk mencuri dengar. Perbincangan dilakukan dengan suara rendah yang menggelitik, bahkan terdengar berbisik, mengundang minat saya tanpa maksud apapun, hanya untuk menghamburkan waktu.
Bank, perusahaan, karyawan, kecurangan. Hanya kata-kata itu yang mampu saya dengar karena sering di ucapkan. Sebagian besar sisanya adalah bagian-bagian perbincangan yang bocah kemarin sore ini tidak bisa mengerti maksudnya. Mungkin isltilah-istilah yang belum saya alami, dan sudah lumrah untuk kedua orang ini.
aroma-aroma kapitalis dari kata-kata yang saya tangkap tadi, nampaknya semakin kental larut dalam perbincangan mereka. Terkadang diselipi tawa geli, mececap kopi, anggukan, menghisap rokok, dan berbagai bahasa tubuh khas ang melekat. Meskipun saya tidak mengerti pasti apa yang mereka perbincangkan, tapi sangat menyenangkan menyimak perbincangan para veteran kehidupan yang mungkin mereka sudah mengalami langsung kesialan dari adanya para rakus penduduk atas strata sosial masyarakat, yang biasa kita namakan kaum elit. Sedikit memberi rasa asin dari kopi yang saya teguk saat itu.
“ saya jadi punya kesimpulan pak, kalo mau kaya raya di Indonesia itu bukan jadi orang pinter, tapi jadi orang licik” ujar salah satu dari mereka. Hisapan saya pun berhenti, ungkapan yang tidak perlu saya cerna ini terbuang bersama asap rokok dari mulut saya. Sialnya tidak terbuang, malahan larut dengan kopi yang selanjutnya saya teguk. Akhirnya menggantung dalam pikiran saya.
Dulu beberapa tahun kebelakang ketika saya akan menginjak masa-masa kelulusan SMA, Masalah financial ini yang sempat menjadi topic hot untuk diperbincangkan dalam beberapa periode oleh saya dan teman-teman. Bahkan bumbu perbincangan seperti silang pendapat sering terjadi, masalah kebebasan finansial tentunya. Pada saat itu saya cenderung untuk tidak terlalu mengejarnya. Rasa idealisme yang menjadi pembenaran lah yang mengatakan bahwa apa gunanya hidup sangat mapan bergelimang uang, sementara hal itu di dapat dengan cara-cara licik? seperti akan membahayakan jiwa saya ketika setiap keuntungan mengucur ke dalam kantong saya. Karena dari apa yang saya coba cermati, nyatanya, keadaan sekarang ini, sangat tidak memungkinkan untuk mencapai kebebasan financia denganl cara yang jujur, ketika cara-cara kotorlah yang medominasi praktek penghimpunan sumber daya, atau lebih kita kenal menghimpun uang. Pasti selalu akan ada cara kotor entah itu untuk sekedar persaingan, melindungi aset, atau mempromosikan usaha kita. Karena sudah menjadi rahasia umum mereka para elit-elit kekayaan mempraktekan cara-cara itu. Dan sialnya kita-lah yang menjadi korban, atau lebih tepatnya beban paling besar harus ditanggung mereka yang hidup sangat jauh dari segala akses menuju uang, entah itu koneksi, informasi, pengetahuan, bahkan segala makanan yang mendukung keuntungan secara fisik dan kecerdasan.
Seperti seorang murid yang baru dibenarkan oleh gurunya mengenai pendapat yang telah dikemukakannya pada saat itu. Ada kebanggaan merusak yang menjalar, ikut menemani perjalanan pikiran saya mengantarkan ke masa lalu. Mengingat masa-masa ketika baru akan lulus dari SMA. Ketika semua optimisme, semangat muda, harapan besar, dan keinginan yang meledak-ledak menerbangkan khayal akan keinginan memiliki perusahaan yang besar yang memiliki lebih dari satu juta karyawan. Memiliki rumah peristirahatan pada sebuah pulau milik pribadi. Memiliki kapal pesiar, jet pribadi, dan segala yang bisa dicontohkan oleh para elit kaya. Hal itulah yang saya perbincangkan bersama teman-teman. saat-saat menyenangkan ketika hal tersebut bisa didapat dengan kerja keras yang tiada habisnya. Tapi begitu membingungkan ketika hari-hari mengantarkan kami untuk mencicipi sedikit pahitnya realita, dan membawanya pada perdebatan panjang pada warung-warng kopi yang mungkin untuk disinggahi. Perbedaan pandangan pun terjadi, meskipun tidak dideklarasikan, kami jadi sedikit berbeda jalan. Mungkin ini yang dikatakan orang adalah masa-masa ketika idealisme dan realitas harus berbenturan.
Tapi kawan, sepertinya realitas yang selalu menang. Membuat kita sibuk mengurusi daun dan ranting. Yang pada musimnya akan selalu berguguran, yang dimakan ulat-ulat, yang berterbangan di tiup angin, yang rapuh dan kapan saja bisa dengan mudah untuk dihancurkan.

Sabtu, 22 Oktober 2011

Anda Sudah Mendaki Sangat Tinggi, Sisanya Bukan Hak Saya

anda sudah mendaki sangat tinggi, cukup tinggi untuk melihat milyaran manusia yang tertidur di bawah sana. Dengan luka-luka pada tubuh anda yang menganga, membuat anda cukup terbiasa dengan rasa sakit.

Sekarang anda memilih sejenak untuk sedikit berhenti, beristirahat, sedikit menikmati hasil yang selama ini anda pertanyakan.

Menghela napas panjang dan bersandar, dengan pandangan tak lepas pada hamparan ruang yang anda sadar dasarnya telah anda tinggalkan cukup lama. Seolah anda berada diujung bumi, seperti melayang, dengan ratusan tebing seperti menara yang menjulang tinggi, sebagian telah terlihat puncaknya dan sebagian lain masih tertutup kabut.

warna orange yang merona bercahaya melapisi langit. Langit yang melatari ratusan tebing yang menjulang. Awan yang berserakan lelah, melelehkan warna jingga dari sinar matahari sore yang memancarkan cahaya. Cahaya yang memaksa masuk pada tiap celah kabut tipis yang sekarang sedikit menghangatkan wajah anda.

Anda sedikit mengangkat dagu anda, memejamkan mata untuk menikmati hangatnya siraman cahaya matahari sore ini, alunan suara alam yang lumrah dan damai, melupakan anda dari kebisingan dengkuran manusia-manusia yang tertidur di bawah sana, dan hasilnya sangat sulit untuk menahan syaraf-syaraf di pipi anda, untuk membuat garis senyum simpul manis, berharap ini cukup sebagai akhir.

Sayangnya semua itu seolah menegasikan keadaan dalam otak anda, yang dari tadi sudah sangat siap untuk meyeruak menimbulkan ledakan kebingungan-kebingungan yang telah terlalu lama mengkristal, menghujani tempat didalam dada anda, yang anda sendiri tidak bisa menunjukannya di sebelah mana, yang pasti didalam dada anda kosong…

Anda berusaha memejamkan mata sekuatnya, seolah dengan begitu semuanya bisa terselesaikan. Tapi memori anda menyimpan pengalaman dan seolah mengatakan bahwa tak ada gunanya memejamkan mata!! dan dalam sepersekian detik, mata anda kembali membuka melihat lengangnya pemandangan tadi yang tidak berubah, damai, seperti biasa…

Anda melihat perbekalan anda, semua sudah habis! sedangkan anda merasa bahwa ini bukan puncaknya, puncak yang anda harapkan, yaitu, sebut saja “anti-relative”.

Tidak lama anda mendengar suara yang memanggil anda dari kejauhan. Entah dari tebing yang mana. Yang jelas anda tau pasti itu suara yang anda kenal, Anda menengok ke segala arah, berusaha mencari, dan ketika anda berbalik ke arah barat daya, anda melihat sesosok orang yang samar-samar anda kenal, tertutup kabut tipis memanggil nama anda. Dengan gerak geriknya dia seperi mengajak anda untuk datang kesana.

Ketika anda mencoba perhatikan dengan seksama suaranya, mengerutkan dahi anda dan berusaha melihat. Oh! Anda tau itu suara siapa!

Ya! Itu suara saya, suara yang memanggil anda dari tebing dimana saya berdiri dan melihat keaarah anda. Ini saya yang menawarkan sedikit perbelakan untuk kita bisa bagi bersama dan melanjutkan perjalanan. Ini saya yang dalam kedaan sama seperti anda, mencoba kembali mendaki untuk mencapai puncak paling tertinggi dari ratusan tebing yang menjulang. Yang berjudi untuk memilih mana yang tertinggi.

Anda pun kebingungan, dengan cara apa anda harus menuju kesana, karena jaraknya sangat tidak pasti untuk dilompati. Anda hanya terdiam keheranan melihat saya.

Lalu anda ingat akan suatu hal, tak lama anda berteriak membalas teriakana saya. Teriakan yang saya dengar untuk membangun sebuah jembatan. Ah.. Ternyata anda masih ingat kemampuan yang paling bisa saya lakukan, membangun jembatan.

Tapi sayangnya saya paling tahu, bahwa kemampuan saya bukan itu. Kemampuan saya adalah membangun jembatan rapuh.

Ya! Jembatan rapuh yang selama ini saya bangun, jembatan yang menghubungkan dari satu tebing ke tebing lain. Tapi ada hal yang mungkin seharusnya anda tahu, bahwa jembatan-jembatan yang saya bangun sebelumnya hanya untuk jarak yang anda yakin anda bisa melompatinya.

Sebenarnya tidak sulit bagi saya untuk membangun jembatan yang anda maksudkan itu sekarang. Karena sah-sah saja melihat dari hasil yang lumrah dan sedikit memberikan kemudahan untuk anda.

Tapi saya enggan kali ini. Anda tau kenapa?

Karena harga lompatan yang anda lakukan kali ini, seharga ketidak pastian jarak yang anda lihat sekarang…


***

Burung-burung sudah terbang menuju sarang, kelelawar sudah mulai terbangun, berterbangan diantara ratusan tebing, yang dimana salah satunya anda sedang berdiri sekarang, memandang tempat saya berdiri, dan terkadang melihat sekeliling.

Anda melihat kearah saya sekarang, dan saya tau ada kebingungan dalam diri anda. Kebingungan pada saya yang enggan kali ini untuk memberikan anda kemudahan seperti biasanya. Bukan! bukan itu kebingungannya. Kebingunan karena ada ketakutan berupa keraguan dalam diri anda, ketakutan karena jarak yang tidak normal, tidak masuk akal, tidak pernah anda alami sebelumnya. Ini seperti terlalu dipaksakan, bahkan ya! Terlalu dipaksakan!

Kebingungan anda semakin bertambah ketika ada suara lain dari tempat dimana anda berada, dan ketika anda menoleh sedikit ke kanan, ternyata ada orang lain!

Sekarang suara yang memanggil anda semakin banyak, dari bawah, dari atas, bahkan dari segala arah yang semuanya menawarkan perbekalan. Lalu anda kembali menoleh pada saya dengan mimik kebingungan lain.

Saya pun kebingungan, bingung dengan kebingungan anda, dengan kebingungan saya, dengan kebingungan semua orang. Semua orang kebingungan, karena itulah yang menyebabkan kebanyakan dari mereka lebih memilih tidur didasar sana.

Makanya saya hanya bisa berteriak sekarang, karena saya yakin akan satu hal yang pasti. Saya disini akan tetap berdiri menunggu anda. Menunggu anda untuk melompat. Entah itu kapan, karena saya tidak bisa melihat masa depan, maka saya akan selalu berusaha dengan sekuat tenaga, berjuang dengan apa yang ada sekarang, berusaha memahami tiap langkah yang saya tinggalkan, tiap makna yang saya lihat, saya dengar, saya cium, saya sentuh, dan saya jilat.

Anda menghela napas panjang, menoleh ke atas memandang langit. Langit sore yang tenang, kali ini semakin dekat mengantarkan pada senja, karena warna biru di atas sana sudah menyusup dari tiap latar langit sore.

Pemandangan tenang yang anda lihat kali ini tidak berkesan sama sekali. Mungkin karena anda sudah mulai bisa beradaptasi dan terbiasa. Tapi otak tidak pernah terbiasa, selalu bekerja, berusaha keras mencoba memahami keadaan yang terlalu kacau, rumit, dan tidak pasti. Entah mengapa menjadi begitu kacau dan rumit. Ah ya! Anda sama seperti saya, sama seperti sebagian orang-orang yang memilih untuk mendaki, ingin mencapai puncak tertinggi! Dimana alasannya bukan suatu hal yang umum, ataupun alami. Nyatanya sekarang ada ratusan tebing yang menjulang, yang masing-masing menjanjikan sebagai yang tertinggi. Semua rumit karena tidak pasti, menjadi kacau karena anda harus berjudi, dan semakin menakutkan karena mungkin anda mati senja ini.

Karena lompatan kali ini hanya butuh keberanian, dan sesuatu yang semua orang memilikinya. Menggunakannya, kebanyakan sulit. Karena kita terlanjur lahir, terlanjur mengenal semesta yang relative, terlanjur dibalut ego, dan apapun yang masa lalu bisa katakan.

Tapi dengan selalu meyakini diri anda. Dengan semua hasrat untuk mencapai yang tertinggi. Dengan segala ketakutan yang mendorong anda. Dengan selalu melawan apapun untuk berbuat tidak biasa, dan akhirnya menjadikan waktu ini adalah tempat dimana anda tidak punya masa lalu ataupun masa depan, hanya meyakini saat ini adalah keterbatasan yang tidak bisa anda nafikan, dan ada kepasrahan seutuhnya yang menjadikannya sebagai suatu keharusan berbuat berani! Jelas! Karena saya yakin, sekalipun anda mati karena lompatan bodoh ini, hasilnya bukan hal lumrah dari mekanisme semesta seperti yang terjadi pada kebanyakan orang.

Tidak ada alasan untuk ke tebing tempat dimana saya berada, semuanya ada pada diri anda. Karena toh kalaupun anda menolak untuk melompat kesini, hal itu tidak akan menghalangi niat saya untuk terus melanjutkan perjalanan, sekalipun harus terpincang-terpincang karenanya. Tapi itu juga tidak akan membuat saya berhenti untuk sesekali jika kita bisa bertemu di ketinggian-ketinggian berikutnya, untuk mengajak anda kesini. Karena anda ragu, saya yakin, hanya itu!

Dengan penghargaan tertinggi, dengan penuh rasa hormat, dengan upaya yang sangat saya usahakan maksimal, saya serahkan semuanya pada anda untuk memutuskan. Karena bagian saya sampai sini, sisanya bukan hak saya.

Selasa, 01 Februari 2011

Sang Kecoa

Ada hal yang cukup mendesak memori dikepala saya untuk memberikan sedikit tempat akan pengalaman biasa. Hal ini pula yang membuat saya ingin menuliskannya, karena runtutan panjang kejenuhan dalam momen sebulan yang biasanya robot –robot semacam saya menyebutnya sebagai liburan, semakin mengkukuhkan apa yang saya sebut kehidupan adalah statis.

Pernahkah anda membunuh seekor kecoa? Saya pernah, kemarin malam, tepatnya tiga jam lebih sebelum malam mengantarkan saya pada pergantian hari. Sedikit tidak biasa memang kedatangan sang kecoa kali ini. Bukan dengan berlarian malu-malu , tapi kali ini sang kecoa melawan gravitasi dengan sangat percaya diri, lebih tepatnya terburu-buru. Pada saat itu pintu rumah saya memang sedang terbuka setengah, sedikit mengundang sang kecoa rupanya untuk terbang masuk dan menganggu ketenangan saya yang sedang bermalas-malasan di depan layar computer.

Sang kecoa terbang seperti orang kebingungan mencari toilet, hinggap sebentar lalu terbang lagi. Menurut pengalaman saya dengan kecoa-kecoa dimasa lalu, gelagat seperti ini adalah gelagat kecoa yang sedang mau bertelur. Tentunya sedikit pengetahuan saya ini membuat saya semakin merasa terganggu mengingat visi sang kecoa adalah melanjutkan dinastinya di tempat dimana saya seharusnya merasa aman dan nyaman. Motif yang cukup untuk membuat saya yang pemalas beranjak dari tempat duduk dan mengambil sebatang bamboo yang saya bawa dari masa lalu dan masih tersimpan baik sampai saya sebesar ini.

Dengan sedikit kewaspadaan seperti akan sedang berburu, saya mengamati gerak gerik sang kecoa kala ia sedang lengah. Tapi kawan, sang kecoa memang selalu lengah nampaknya. Entah karena dia sudah tidak mengacuhkan keberadaan saya karena desakan dalam perutnya. Ya! Isi perutnya yang meminta untuk segera keluar dan melihat dunia yang kacau.

Akhirnya sang kecoa hinggap di lantai sudut dekat tembok, tempat yang terjangkau dan sangat nyaman tentunya untuk saya mengeksekusi segera. Tanpa pikir panjang saya langsung memukul sang kecoa hingga terlentang. Saya tindih kepalanya dengan ujung bamboo. malang sang kecoa, dia nampak sangat tersiksa karena sang kecoa meronta-ronta dengan sangat liar, kakinya yang lebih dari dua itu bergerak kesana kemari, membuat tubuhnya ikut bergerak dan semakin bergeser, keadaan seperti ini membuat saya mengangkat bamboo dan saya tindih lagi untuk memastikan bahwa saya benar-benar menindih kepalanya. Sang kecoa meronta2 lagi seperti tadi, entah hanya perasaan saya saja tapi kali ini sang kecoa meronta semakin tidak terkendali, membuat saya jadi semakin iba melihat seekor binatang yang akan menjempu maut. Saya pun akhirnya berhenti menindihnya karena saya lihat sudah terlalu jahat jika saya melanjutkannya. Saya pun mengangkat bamboo yang kali ini menjadi alat eksekusi seekor kecoa. Dengan perlahan saya angkat, sambil melihat reaksi sang kecoa yang memang sudah sangat tidak berdaya meronta2 seolah mengutuk langit akan kesialannya.

Saya hanya memperhatikan sang kecoa, rontaan nya semakin menjadi, semakin liar, tapi seperti sedang berpikir! Tak lama sang kecoa berbalik dari posisinya yang terlentang menjadi posisinya berdiri normal, sedikit berjalan seperti mencari sesuatu, sempoyongan tapi tidak berusaha berhenti berjalan. Sayapnya yang hancur nampaknya berusaha ia kepakkan. Reflek saya langsung menindih lagi sang kepala kecoa.

Sedikit saya terkejut dengan kejadian tadi. Bukan kejadian yang luar biasa tapi membuat saya terus memperhatikan sang kecoa sambil tetap menindihnnya tentunya. Pemandangan itu membuat impuls di otak saya bekerja sangat cepat menyusun huruf-huruf dan membentuk sebuah kata, PERLAWANAN! Ya! Rontaanya tadi ternyata bukan sebuah penderitaan karena kesakitan. Memang kesakitan, tapi itu hanyalah bumbu dari sebuah perlawanan. Perlawanan pada saya sang eksekutor, yang besarnya ratusan kali lipat dari sang kecoa. “Sangat tidak masuk akal untuk melawanku wahai kecoa bodoh” ujar saya dalam hati, tapi tanpa kesombongan kali ini saya berujar. Entahlah, ada rasa hormat pada sang kecoa bodoh itu. Pada sebuah eksistensi menjijikan yang membawa semangat langit. Semangat focus dan tidak menyerah dengan sebentuk rontaan liar hanya untuk bertelur, hanya karena kecoa bodoh, tidak bisa berfikir untuk paham bahwa yang dilakukannya tidak masuk akal, seperti manusia yang selalu punya perhitungan.

Kejadian itu membuat saya belajar, sekalipun semuanya tidak masuk akal, apakah kita harus berhenti? Menunda? Ataupun apalah itu namanya agar kata menyerah terlihat menjadi begitu ramah. Sekalipun kita dipastikan akan mati. Hanya saja ketika kita yakin dengan apa yang kita jalani, apakah kata “sia-sia” menjadi begitu sangat bermakna?

Saya jadi teringat kata-kata teman saya yang sangat membekas dalam sebuah obrolan di warung kopi. Katanya “mimpi itu berawal dari sesuatu yang Irasional”.


***


Yah singkat cerita sang kecoa dalam keadaan sekarat tak berdaya dan membuat iba. Akhirnya Saya bawa ke luar pintu dengan menggesernya menggunakan bamboo. Ternyata diluar sudah menunggu koloni pekerja keras, arsitek yang sudah hidup jutaan tahun yang lalu, yang sedari tadi berkeliaran merayap-rayap di tempat eksekusi dan siap memamerkan drama paling tua persembahan dari alam.Tentu saja dengan judul yang sangat familiar.“Hukum Rimba”.

Selasa, 25 Januari 2011

Media di Zaman Keraguan

Sekarang sang pembawa kabar mengaku malaikat

Tarian mereka yang elegan menutupi cacat
Menari diatas piringan hitam sang tua
tapi sang tua tidak bernyanyi jua
Hitam putih mimpi buruk para bocah
Tiang gantung menjadi begitu indah
Bukankah lebih baik mati daripada hidup terhina?
tidak juga...

Ini Zaman Keraguan

Larut dalam manusia yang mengalunkan lagu yang terbelenggu, mengawang, berpijak tanpa dasar...
Adalah sebuah ruang tanpa batas yang terbelah menjadi 2 labirin linear, tidak ada pertemuan antara keduanya.. 
Dari titik hitam yang mengkristal dalam jiwa, meluap melahap raga hingga tak nampak rupa diri dalam jalan panjang yang akhirnya adalah sebuah misteri, sekalipun cahaya adalah sebuah harapan besar...
Ya! semuanya mencari cahaya sekalipun hanya setitik, karena sangat melelahkan berada ditempat gelap ini, membutakan, membunuh kesadaran, hingga akhirnya kami tetap kaum terjajah yang menerbangkan tawa, melagukan tangis, mengejar asa, menatap masa, berlari dalam ruang waktu yang semua itu hanyalah sebuah subtansi dari esensi kosong yang tidak kami pahami. Jika ini lahir dari ketidak-mampuan untuk menyentuh cahaya dari tangan-tangan yang berbalut logika, rasionalitas, empirisme, yang mengaku sebagai sang kebenaran. Adalah kepalsuan lama yang telah mengkristal dan tertanam dalam benak tiap pengetahuan.