Selasa, 01 Februari 2011

Sang Kecoa

Ada hal yang cukup mendesak memori dikepala saya untuk memberikan sedikit tempat akan pengalaman biasa. Hal ini pula yang membuat saya ingin menuliskannya, karena runtutan panjang kejenuhan dalam momen sebulan yang biasanya robot –robot semacam saya menyebutnya sebagai liburan, semakin mengkukuhkan apa yang saya sebut kehidupan adalah statis.

Pernahkah anda membunuh seekor kecoa? Saya pernah, kemarin malam, tepatnya tiga jam lebih sebelum malam mengantarkan saya pada pergantian hari. Sedikit tidak biasa memang kedatangan sang kecoa kali ini. Bukan dengan berlarian malu-malu , tapi kali ini sang kecoa melawan gravitasi dengan sangat percaya diri, lebih tepatnya terburu-buru. Pada saat itu pintu rumah saya memang sedang terbuka setengah, sedikit mengundang sang kecoa rupanya untuk terbang masuk dan menganggu ketenangan saya yang sedang bermalas-malasan di depan layar computer.

Sang kecoa terbang seperti orang kebingungan mencari toilet, hinggap sebentar lalu terbang lagi. Menurut pengalaman saya dengan kecoa-kecoa dimasa lalu, gelagat seperti ini adalah gelagat kecoa yang sedang mau bertelur. Tentunya sedikit pengetahuan saya ini membuat saya semakin merasa terganggu mengingat visi sang kecoa adalah melanjutkan dinastinya di tempat dimana saya seharusnya merasa aman dan nyaman. Motif yang cukup untuk membuat saya yang pemalas beranjak dari tempat duduk dan mengambil sebatang bamboo yang saya bawa dari masa lalu dan masih tersimpan baik sampai saya sebesar ini.

Dengan sedikit kewaspadaan seperti akan sedang berburu, saya mengamati gerak gerik sang kecoa kala ia sedang lengah. Tapi kawan, sang kecoa memang selalu lengah nampaknya. Entah karena dia sudah tidak mengacuhkan keberadaan saya karena desakan dalam perutnya. Ya! Isi perutnya yang meminta untuk segera keluar dan melihat dunia yang kacau.

Akhirnya sang kecoa hinggap di lantai sudut dekat tembok, tempat yang terjangkau dan sangat nyaman tentunya untuk saya mengeksekusi segera. Tanpa pikir panjang saya langsung memukul sang kecoa hingga terlentang. Saya tindih kepalanya dengan ujung bamboo. malang sang kecoa, dia nampak sangat tersiksa karena sang kecoa meronta-ronta dengan sangat liar, kakinya yang lebih dari dua itu bergerak kesana kemari, membuat tubuhnya ikut bergerak dan semakin bergeser, keadaan seperti ini membuat saya mengangkat bamboo dan saya tindih lagi untuk memastikan bahwa saya benar-benar menindih kepalanya. Sang kecoa meronta2 lagi seperti tadi, entah hanya perasaan saya saja tapi kali ini sang kecoa meronta semakin tidak terkendali, membuat saya jadi semakin iba melihat seekor binatang yang akan menjempu maut. Saya pun akhirnya berhenti menindihnya karena saya lihat sudah terlalu jahat jika saya melanjutkannya. Saya pun mengangkat bamboo yang kali ini menjadi alat eksekusi seekor kecoa. Dengan perlahan saya angkat, sambil melihat reaksi sang kecoa yang memang sudah sangat tidak berdaya meronta2 seolah mengutuk langit akan kesialannya.

Saya hanya memperhatikan sang kecoa, rontaan nya semakin menjadi, semakin liar, tapi seperti sedang berpikir! Tak lama sang kecoa berbalik dari posisinya yang terlentang menjadi posisinya berdiri normal, sedikit berjalan seperti mencari sesuatu, sempoyongan tapi tidak berusaha berhenti berjalan. Sayapnya yang hancur nampaknya berusaha ia kepakkan. Reflek saya langsung menindih lagi sang kepala kecoa.

Sedikit saya terkejut dengan kejadian tadi. Bukan kejadian yang luar biasa tapi membuat saya terus memperhatikan sang kecoa sambil tetap menindihnnya tentunya. Pemandangan itu membuat impuls di otak saya bekerja sangat cepat menyusun huruf-huruf dan membentuk sebuah kata, PERLAWANAN! Ya! Rontaanya tadi ternyata bukan sebuah penderitaan karena kesakitan. Memang kesakitan, tapi itu hanyalah bumbu dari sebuah perlawanan. Perlawanan pada saya sang eksekutor, yang besarnya ratusan kali lipat dari sang kecoa. “Sangat tidak masuk akal untuk melawanku wahai kecoa bodoh” ujar saya dalam hati, tapi tanpa kesombongan kali ini saya berujar. Entahlah, ada rasa hormat pada sang kecoa bodoh itu. Pada sebuah eksistensi menjijikan yang membawa semangat langit. Semangat focus dan tidak menyerah dengan sebentuk rontaan liar hanya untuk bertelur, hanya karena kecoa bodoh, tidak bisa berfikir untuk paham bahwa yang dilakukannya tidak masuk akal, seperti manusia yang selalu punya perhitungan.

Kejadian itu membuat saya belajar, sekalipun semuanya tidak masuk akal, apakah kita harus berhenti? Menunda? Ataupun apalah itu namanya agar kata menyerah terlihat menjadi begitu ramah. Sekalipun kita dipastikan akan mati. Hanya saja ketika kita yakin dengan apa yang kita jalani, apakah kata “sia-sia” menjadi begitu sangat bermakna?

Saya jadi teringat kata-kata teman saya yang sangat membekas dalam sebuah obrolan di warung kopi. Katanya “mimpi itu berawal dari sesuatu yang Irasional”.


***


Yah singkat cerita sang kecoa dalam keadaan sekarat tak berdaya dan membuat iba. Akhirnya Saya bawa ke luar pintu dengan menggesernya menggunakan bamboo. Ternyata diluar sudah menunggu koloni pekerja keras, arsitek yang sudah hidup jutaan tahun yang lalu, yang sedari tadi berkeliaran merayap-rayap di tempat eksekusi dan siap memamerkan drama paling tua persembahan dari alam.Tentu saja dengan judul yang sangat familiar.“Hukum Rimba”.